Selamat Datang di Situs Resmi Asy-Syathibi Center, Kairo

Minggu, 04 Maret 2012

Yang Penting Adalah Kemauan…!


Oleh: Imam Suryansyah, Lc.
Ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar mengatakan, “Biarlah hidup ini mengalir seperti air”. Ungkapan ini menurut penulis perlu dicermati lebih jauh lagi kebenarannya dan masih memungkinkan untuk berpotensi pada dua sisi yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Ada sisi benar dan sisi salahnya, tergantung persepsi orang dalam menilai hidup ini.
Ibarat mendayung sampan, meskipun harus mengikuti aliran air, sampan akan sampai dengan selamat selama terus berhati-hati dan memperhatikan arah dan peta tujuan yang akan ditempuhnya. Namun, ketika lengah sedikit saja, maka akan berakibat bahaya yang sangat fatal. Sampan akan berbelok mengikuti aliran sungai yang bermuara pada tebing jurang yang sangat dalam.
Sebenarnya ungkapan hidup mengalir seperti air tanpa tujuan – menurut penulis- merupakan talbis syaitan (bisikan setan) yang menginginkan kita hidup tanpa target dan muhasabah (evaluasi) diri yang berujung pada penyesalan. Hal ini senada dengan ungkapan “takut riya” dalam permasalahan shalat berjamaah yang seolah-olah benar dan masuk akal, padahal diantara tujuan bisikannya menginginkan agar kita tidak menjadi orang yang maksimalis (all out) dalam beramal. Hanya merasa puas dengan tingkat prestasi yang rendah dan tidak berkualitas.  
Kaitannya dengan hal diatas, kalau kita korelasikan dengan permasalahan belajar atau menuntut ilmu, visi misi dan target dalam belajar merupakan sebuah keniscayaan yang harus senantiasa diperhatikan. Namun, tidak bisa kita pungkiri, sebagian kita berbeda-beda dalam menyikapi cara pandang belajarnya, ada sebagian yang berpandangan bahwa menuntut ilmu tidak terpaku pada ilmu yang didapatnya dibangku kuliah saja. Sehingga, lebih banyak memperkaya dengan ilmu-ilmu lain yang menunjang dan bermanfaat di masyarakat nantinya diluar bangku kuliah. Atau bisa kita kategorikan dengan istilah science oriented. Ada juga sebagian lagi yang mind set-nya muqorror oriented, artinya kelulusannya diukur dengan naik atau tidaknya mata pelajaran yang diujikan dalam bangku kuliah.
Kedua cara pandang diatas memiliki kelebihan dan kekurangannya. Namun alangkah baiknya jika keduanya bisa dipadukan dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Karena bagaimanapun, prestasi akademis merupakan kebutuhan yang mesti diperhatikan dalam menuntut ilmu, tapi bukan segalanya. Perlu diimbangi dengan wawasan keilmuan lainnya yang mendukung bidang yang kita geluti masing-masing, sehingga kita sampai pada tingkat pemegang otoritas dalam bidangnya. Atau paling tidak, kita telah sampai pada pemahaman ajaran Islam yang utuh dan universal sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan utuh pula.
Namun, jangan sampai kita terjerumus pada kategori belajar yang ketiga, muqorror oriented yang mengandung konotasi negatif, yaitu dilakukan oleh mereka yang mencukupkan belajar muqoror saat ujian saja (bahkan cukup dengan metode SKS {system kebut semalam}), setelah itu lepas kendali dan beraktifitas pada kegiatan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan belajar. Karena tipe belajar ini mempunyai efek negatif yang berujung pada penyesalan. Bukan saja berpengaruh pada prestasi belajarnya, akan tetapi lebih jauh lagi orientasi dalam menuntut ilmunya akan terkikis sedikit demi sedikit bahkan sirna sama sekali.
Dan biasanya, hal ini sangat erat kaitannya dengan faktor diri sendiri (internal) dan lingkungan sekitar (eksternal). Pertama, faktor diri (internal) yang lebih cenderung pada tidak adanya visi misi dan target yang jelas selama proses belajar. Seolah-olah waktunya kosong, penuh dengan kegiatan yang bersifat insidentil, suka taswif (menunda-nunda) dan mudah sekali untuk mengatakan “ya” ketika ada ajakan. Dan sebagainya.
Sedangkan yang kedua, faktor lingkungan (eksternal) yang lebih cenderung pada komunitas dimana ia berinteraksi didalamnya. Sebagaimana kaidah umum mengatakan, “lingkungan baik akan menghasilkan karakter dan kepribadian yang baik dan lingkungan yang buruk akan menghasilkan karakter dan kepribadian yang buruk juga”.  
Lalu bagaimana menyikapi organisasi dan tetap berprestasi?   
Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan jawaban seperti halnya “mengajarkan bebek untuk berenang atau mengajarkan burung untuk terbang”. Karena sesungguhnya kita sudah mengetahui jawabannya masing-masing. Hanya saja butuh kemauan dalam diri bahwa sebuah kondisi tidak akan berubah selama tidak ada gerakan (aksi nyata) dan gerakan tidak akan maksimal kalau tanpa didukung oleh azam yang kuat.  
Jadi, pada dasarnya organisasi bukanlah penghambat seseorang untuk berprestasi. Bahkan kedua-duanya bisa bergandengan antara satu sama lainnya, “sukses study juga sukses organisasi”. Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana faktor diri sendiri ini berperan. Selama visi misi dan target pribadi terus terkontrol dan dapat mengkondisikan diri berada dalam lingkungan yang baik, maka prestasi akan diraih tanpa harus mengkambing-hitamkan organisasi.
Hal ini dapat kita katakan, bahwa letak permasalahan bukan pada bagaimana menyikapinya, yang lebih penting adalah adanya kemauan untuk merubah paradigma diri sendiri...! Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More