Oleh: Imam
Suryansyah, Lc.
Ada sebuah ungkapan yang sering kita dengar mengatakan, “Biarlah hidup ini
mengalir seperti air”. Ungkapan ini menurut penulis perlu dicermati lebih jauh lagi
kebenarannya dan masih memungkinkan untuk berpotensi pada dua sisi yang berbeda
pada waktu yang bersamaan. Ada sisi benar dan sisi salahnya, tergantung
persepsi orang dalam menilai hidup ini.
Ibarat mendayung sampan, meskipun harus mengikuti aliran
air, sampan akan sampai dengan selamat selama terus berhati-hati dan
memperhatikan arah dan peta tujuan yang akan ditempuhnya. Namun, ketika lengah
sedikit saja, maka akan berakibat bahaya yang sangat fatal. Sampan akan berbelok
mengikuti aliran sungai yang bermuara pada tebing jurang yang sangat dalam.
Sebenarnya ungkapan hidup mengalir seperti air tanpa
tujuan – menurut penulis- merupakan talbis syaitan (bisikan setan) yang
menginginkan kita hidup tanpa target dan muhasabah (evaluasi) diri yang
berujung pada penyesalan. Hal ini senada dengan ungkapan “takut riya” dalam
permasalahan shalat berjamaah yang seolah-olah benar dan masuk akal, padahal diantara
tujuan bisikannya menginginkan agar kita tidak menjadi orang yang maksimalis (all
out) dalam beramal. Hanya merasa puas dengan tingkat prestasi yang rendah
dan tidak berkualitas.
Kaitannya dengan hal diatas, kalau kita korelasikan
dengan permasalahan belajar atau menuntut ilmu, visi misi dan target dalam
belajar merupakan sebuah keniscayaan yang harus senantiasa diperhatikan. Namun,
tidak bisa kita pungkiri, sebagian kita berbeda-beda dalam menyikapi cara
pandang belajarnya, ada sebagian yang berpandangan bahwa menuntut ilmu tidak
terpaku pada ilmu yang didapatnya dibangku kuliah saja. Sehingga, lebih banyak
memperkaya dengan ilmu-ilmu lain yang menunjang dan bermanfaat di masyarakat
nantinya diluar bangku kuliah. Atau bisa kita kategorikan dengan istilah science
oriented. Ada juga sebagian lagi yang mind set-nya muqorror
oriented, artinya kelulusannya diukur dengan naik atau tidaknya mata pelajaran
yang diujikan dalam bangku kuliah.
Kedua cara pandang diatas memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Namun alangkah baiknya jika keduanya bisa dipadukan dan saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Karena bagaimanapun, prestasi
akademis merupakan kebutuhan yang mesti diperhatikan dalam menuntut ilmu, tapi
bukan segalanya. Perlu diimbangi dengan wawasan keilmuan lainnya yang mendukung
bidang yang kita geluti masing-masing, sehingga kita sampai pada tingkat
pemegang otoritas dalam bidangnya. Atau paling tidak, kita telah sampai pada
pemahaman ajaran Islam yang utuh dan universal sehingga masyarakat dapat
menerimanya dengan utuh pula.
Namun, jangan sampai kita terjerumus pada kategori belajar
yang ketiga, muqorror oriented yang mengandung konotasi negatif, yaitu dilakukan
oleh mereka yang mencukupkan belajar muqoror saat ujian saja (bahkan cukup dengan
metode SKS {system kebut semalam}), setelah itu lepas kendali dan
beraktifitas pada kegiatan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan belajar.
Karena tipe belajar ini mempunyai efek negatif yang berujung pada penyesalan. Bukan
saja berpengaruh pada prestasi belajarnya, akan tetapi lebih jauh lagi
orientasi dalam menuntut ilmunya akan terkikis sedikit demi sedikit bahkan
sirna sama sekali.
Dan biasanya, hal ini sangat erat kaitannya dengan
faktor diri sendiri (internal) dan lingkungan sekitar (eksternal). Pertama,
faktor diri (internal) yang lebih cenderung pada tidak adanya visi misi dan
target yang jelas selama proses belajar. Seolah-olah waktunya kosong, penuh
dengan kegiatan yang bersifat insidentil, suka taswif (menunda-nunda) dan
mudah sekali untuk mengatakan “ya” ketika ada ajakan. Dan sebagainya.
Sedangkan yang kedua, faktor lingkungan
(eksternal) yang lebih cenderung pada komunitas dimana ia berinteraksi didalamnya.
Sebagaimana kaidah umum mengatakan, “lingkungan baik akan menghasilkan karakter
dan kepribadian yang baik dan lingkungan yang buruk akan menghasilkan karakter
dan kepribadian yang buruk juga”.
Lalu bagaimana menyikapi organisasi dan tetap berprestasi?
Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan jawaban
seperti halnya “mengajarkan bebek untuk berenang atau mengajarkan burung untuk
terbang”. Karena sesungguhnya kita sudah mengetahui jawabannya masing-masing.
Hanya saja butuh kemauan dalam diri bahwa sebuah kondisi tidak akan berubah
selama tidak ada gerakan (aksi nyata) dan gerakan tidak akan maksimal kalau
tanpa didukung oleh azam yang kuat.
Jadi, pada dasarnya organisasi bukanlah penghambat
seseorang untuk berprestasi. Bahkan kedua-duanya bisa bergandengan antara satu
sama lainnya, “sukses study juga sukses organisasi”. Yang menjadi permasalahan
adalah sejauh mana faktor diri sendiri ini berperan. Selama visi misi dan
target pribadi terus terkontrol dan dapat mengkondisikan diri berada dalam
lingkungan yang baik, maka prestasi akan diraih tanpa harus mengkambing-hitamkan
organisasi.
Hal ini dapat kita katakan, bahwa letak permasalahan
bukan pada bagaimana menyikapinya, yang lebih penting adalah adanya kemauan
untuk merubah paradigma diri sendiri...! Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar