“Pendekatan Prestatif Akademis Duniawi Dan
Ukhrawi”
Oleh: Sufrin
Efendi, SPdI
Secara
umum, manusia sejatinya memiliki tujuan akhir dari sebuah proses, meskipun hasil
tak selamanya mengindikasikan hakikat proses tersebut. Akan tetapi, proses yang
maksimal menjadi awal terciptanya kesuksesan. Juga boleh dibilang bahwa dasar
dari sebuah kesuksesan terpancar pada komponen kepercayaan, cara pandangan
hidup, kedewasaan penyikapan, dan penumbuhan antusiasme untuk penggapain suatu target.
Seorang
Muslim yang mempercayai adanya kehidupan setelah kehidupan dunia akan bersikap
sesuai dengan keyakinannya. Segala aktivitas penuh dengan pertimbangan, karena
dalam agamanya menganjurkan untuk berpikir sebelum bertindak. Juga segala
gerak-gerik kehidupannya tarlihat dari kanvas raksasa kehidupan. Perbuatan
sekecil apapun mempunyai nilai positif-negatif sesuai dengan kadar
penentuannya. Oleh karenanya, komponen kepercayaan dan cara pendefinisian arti
sebuah kehidupan menjadi barometer penentuan kesuksesan.
Dalam
skala bermasyarakat misalnya dan dunia international pada umumnya berotasi,
sesuai dengan ritme kepekaan dalam mengkonsumsi alam sekitar. Kejenuhan tak
dapat dihindari dari sebuah perjalanan panjang, lelah dan ingin berpindah dari
represi menuju reformasi yang menghendaki suatu upaya untuk merobohkan
suatu tabiat, bangkit dari sistem lama dan memadukannya dengan gagasan baru. Karena
perubahan ibarat “leave one place and go to enter
another” yang senantiasa berkaitan dengan -dialektika, logika,
romantika, dan pembangunan- penuh dengan eksperimen yang keakuratannya dapat
dipertanggungjawabkan secara akademisi . Teori ini terealisasikan pada awal
mula munculnya Islam di Tanah Arab bahkan masih berkesinambungan hingga
sekarang.
Munculnya
ajaran Islam di Dunia Arab boleh dianalogikan sebagai solusi dari diskulpasi
orang Arab ketika itu. Dan kebiasaan mereka membudaya hingga menjadi factor
pemicu lahirnya diskriminatif antar pelbagai kultur dan jenis, juga meramba
pada dikotomi warna kulit, kesukuan, perbedaan gender dan lain sebagainya.
Kriminalitas
orang Arab pun merajalela, sehingga penamaan yang lumayan fenomenal hingga sekarang
menjadi saksi bisu atas sifat disobesiensi mereka yakni “zaman jahiliyah”,
karena ketidak patuhan mereka terhadap kemaslahatan bersama dan mengedepankan
kepentingan pribadi, bahkan mengabaikan peraturan-paraturan Ilahi yang kian
membias dan menipis. Tak dapat dipungkiri bila semua ini menjadi factor
kejenuhan mereka untuk menuju kondisi yang lebih baik, dan karena tabiat dan
bawaan manusia pada dasarnya lurus dan mulus sesuai dengan fitrah dan pewarnaan
sekelilingnya.
Dalam
diskursus mengenai perubahan, banyak sekali terminologi atau pengistilahan yang
mempunyai makna dan arti yang mirip. Namun, seperti layaknya saudara kembar,
sekecil apapun pasti akan terdapat perbedaan. Transformasi, pembangunan,
perkembangan, modernisasi, industrialisasi, reformasi, dan kesemua istilah ini
adalah hampir sama, yang pada dasarnya menitik beratkan pada adanya perubahan.
Reformasi
pada dasarnya juga merupakan perubahan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Gerald E Caiden bahwa reformasi
adalah “the artificial inducement of administrative transformation against
resistance.” Yakni merupakan perubahan terencana atau perubahan yang
dipersiapkan secara sengaja atau diinginkan.
Perubahan
ini dapat terjadi pada/bentuk apa saja. Mulai dari komponen terkecil hingga
pada skala bernegara sekalipun. Seorang diri bisa saja merubah dirinya sendiri dan
bahkan berdampak pada tatanan masyarakat atau dunia dan seisinya. Meskipun tak
selamanya perubahan menyisakan hasil positif, namun setidaknya perubahan akan
membawa gagasan cemerlang menuju kemajuan.
Kalaulah
perubahan menjadi suatu keniscayaan dan mesti ada pada tiap generasi. Karena
tanpa perubahan umat manusia bagai jalan di tempat, tanpa ada kemajuan atau
bahkan tertinggal dari perkembangan yang sudah begitu pesat. Dengan perubahan, kelayakan
atau tidaknya suatu sistem akan terjawab, juga akan menghasilkan gagasan yang
penuh dengan eksperimen demi perbaikan dan pembaharuan. Oleh karenanya,
reformasi total dalam suatu tatanan kehidupan terkadang memang perlu
diterapkan. Dengan demikian, pembaharuan itu harus ada dan menjadi beban kita
bersama. Kepalan semangat dan tekat yang bulat kita menjadi stimulus dalam
pengwujudannya. Karena perubahan itu adalah kepastian, dan kalau bukan kita
siapa lagi. Senada dengan ini, Nabi saw pernah bersabda:
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد
لها دينها (الحديث)
“Sesungguhnya
Allah Swt. akan mengutus pembaharu umat dan agama pada setiap satu abad.”
Bila
dimaknai secara tersurat, hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa setiap
generasi ada pelitanya. Dan setiap masa ada pemandunya. Di kegelapan akan
didapati cahaya penerangnya, dan pada setiap kesunyian akan didapati keramaian.
Akan tetapi, bila dimaknai dengan pendekatan analisa siratan kalimat dan
kandungan pesan, ternyata ada pesan berharga yang semestinya dijadikan sebagai
bahan evaluasi bagi setiap umat yakni “kenapa datang pembaharu dan apa sebab
kedatangannya? juga kenapa pembaharu harus ada?”
Pertanyaan
demi pertanyaan akan lebih banyak timbul setelah kita menggunakan analisa
terhadap kandungan hadits tersebut. Akan tetapi, semua ini mengindikasikan
bahwa adanya keterkaitan antara pengutusan pembaharu dan kondisi manusia
sebagai obyek utama pada misi ini. Pengutusan para nabi terdahulu adalah
sebagai contoh kecil, setelah masa satu nabi berakhir maka akan disusul dengan
nabi lainnya. Bilamana ajaran pertama telah luluh dan musnah, maka Allah akan
mengutus ajaran pembaharu dan pengganti dari ajaran yang telah dimusnahkan
tersebut. Sebagaimana Allah Swt. mengutus Nabi Musa dan Harun, Isa hingga
sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Sejarah
telah mencatat segala goresan yang ada di muka bumi ini, tanpa memandang corak
atau warna goresan tersebut. Di dalam cakrawala keagamaan misalnya, peralihan
masa menuju masa selalu dipandu seorang pemimpin atau khalifah. Hal yang
demikian terlihat dari masa kepemimpinan Rasulullah Saw. hingga beliau wafat dan
kemudian disusul oleh masa Khulafa’ur Rasyidin. Dan masa Khulafa’ur Rasyidin
ini pun diwariskan kepada Umayyah dan setelahnya oleh ‘Abbasiyah. Pada masa
Bani Umayyah, hampir didominasi oleh disobesiensi. Kaum Muslim ketika itu
semakin menjauh dari hakikat ajaran dan tuntunan Islam. Estafet kepemimpinan
ini malang melintang pada poros kemerosotan, bahkan melahirkan regenerasi yang
jauh dari tanggungjawab kepemimpinan. Hajjaj bin Yusuf misalnya, seorang tokoh
di masa Umayyah terkenal dengan kebrutalannya, bahkan menghakimi dan membunuh
para ulama ketika itu hingga masa itupun mencapai perbaikan dan kejayaannya
ketika amanah kekhalifahan diemban oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Terbukti sudah
apa yang telah Rasulullah Saw. janjikan pada umatnya bahwa di setiap masa itu
ada pembaharu dan pelita penerang di kegelapannya yakni munculnya Umar Bin
‘Abdul ‘Aziz di masa Umayyah dan Harun Ar-Rasyid di masa ‘Abbasiyah, dan inipun
akan terus berlangsung hingga Allah Swt. menentukan ketetapan dan kekuasan-Nya
terhadap semua cipataan-Nya di muka bumi ini.
Dengan
demikian, kita telah melihat realitas dari masa ke masa yang silih berganti.
Mulai dari masa Rasulullah Saw. hingga ke masa kita sekarang. Begitu banyaknya
perubahan hampir di semua lini kehidupan; lebih tepatnya bila disebut sebagai
penurunan kualitas dan energitas kaum Muslim, khususnya terhadap respon
keberagamaan dan keIslaman. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa
perubahan itu adalah merupakan keniscayaan dan mesti dilakukan demi terciptanya
pembaharuan yang berorientasikan pada kemaslahatan bersama. Dan sesuai dengan
fitrah manusia itu sendiri, secara sendirinya akan menuntut untuk berubah dari
satu fase menuju fase lainnya.
Perubahan
atau pembaharuan ini tidak hanya pada ruang lingkup keimanan dan keIslaman
semata. Juga ternyata melanda kaum non Muslim di belahan Eropa sana, semenjak
beberapa abad yang silam. Masihkah kita ingat reformasi besar-besaran para kaum
Kristen Gereja di Eropa pada antara abad empat belas-abad enam belas. Kenapa
transformasi ini melanda kamu yang tidak memiliki loyalitas agama samawi
seperti layaknya orang Muslim. Apa sebenarnya faktor pemicu munculnya reformasi
besar-besaran ini.
Pada
tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi besar-besaran setelah sekian tahun
dibelenggu oleh sistem yang memperbudak sebagian orang. Berapa banyak tenaga
ahli kita dalam pelbagai bidang dimanfaatkan (disewa) oleh barat dan
dimanfaatkan dunia lain hanya menerima 0,01 persen dari upah yang diberikan,
dan sisanya dimanfaatkan oleh para pejabat pemerintah kita. Kontrak kerja
bulanan pun mencapai sekitar $400 dollar Amerika perorang ketika itu. Namun upah
yang diberikan langsung pada pekerja tak lebih dari tiga sampai empat ratus
ribu rupiah perbulan. Betapa bejatnya sebagian pejabat negara kita dahulu,
memperkaya diri di atas jerih payah dan cucuran keringat orang lain.
Bila
kita membuka lembaran sejarah, reformasi tuntutan perubahan di Indonesia
tentulah akan berbeda dengan "Pemberontakan Maroko". Hal ini benar
sekali, sebab Indonesia memiliki tenaga produksi yang lebih tinggi (industri,
pertanian, pengangkutan dan keuangan yang besar kuat, ketika itu) daripada
negeri tani kecil dan gembala domba seperti Maroko. Juga Indonesia, terutama
Jawa, tidak berpegunungan yang dapat disinggahi dan hutan belantara luas menjadi
tempat kaum reformasioner menyembunyikan diri bertahun-tahun untuk kemudian
setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.
Reformasi
Indonesia juga tak akan serupa dengan reformasi proletar sejati seperti di
Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar terdiri dari kaum
buruh) karena kapitalisme Indonesia masih terlalu muda, belum subur dan masih
lemah. Oleh karena itu, kaum buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di
negeri Barat, jauh ketinggalan, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Reformasi
kita Juga tidak akan menyamai Reformasi Prancis tahun 1870 karena Indonesia
ketika itu agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, didorong lagi
ikatan sosial dan semat bersatu sangat besar. Dan akan jauh berbeda juga dengan
reformasi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih
terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh
imperialisme Belanda.
Akan
berlainan pula dengan Reformasi Rusia yang feodal. Karena boleh dikatakan borjuasinya
masih sangar lemah dan muda disebabkan oleh perang yang berlansung selama
bertahun-tahun berlangsung, sedangkan kaum buruhnya mudah gembira dan senang,
mereka juga dididik menurut aturan Lenin (komunitas yang mengajarkan politik
komunisme).
Juga
sejauh pengamatan penulis, Reformasi Indonesia tidak seperti reformasi yang
terjadi di beberapa Negara Arab saat ini. Mesir misalnya yang baru beberapa
bulan menembuskan cita-cita lamanya untuk menumbangkan rezim pemerintahan Husni
Mubarak yang sudah puluhan tahun. Perjuangan mereka tak lebih dari sebatas perebutan
kekuasaan politik saja atau kekuasaan parlemen, karena mengingat kapitalis
nasional Mesir yang sangat amat kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak
daripada di Indonesia.
Boleh
disimpulkan bahwa Reformasi atau perubahan yang terjadi di Indonesia sebagian
kecil adalah bertujuan untuk menentang sisa-sisa feodalisme yang sudah mengakar
pada batang tubuh pemerintahan kita saat itu dan sebagian besar lainnya
terfoksu pada penentangan imperialisme Barat yang kejam dan biadab. Meskipun demikian,
tidak dinafikan adanya kesamaan tujuan antara semua reformasi yang terjadi di
belahan dunia.
Contoh
kecil dapat juga kita temui sebagaimana yang akhir-kahir ini terjadi di
Amerika. aksi anti-Wall Street dan demonstran yang sudah hampir sebulan
berjalan di kota Now York dan kota-kota lain di Amerika Serikat mengaku muak
dengan pemerintah di Washington. Mereka menuding politisi dari dua partai
besar, Demokrat dan Republik, lebih melindungi perusahaan dengan mengorbankan
kelas menengah.(bersambung)