Selamat Datang di Situs Resmi Asy-Syathibi Center, Kairo

Senin, 19 Maret 2012

Menyelami Hakikat Perubahan (1)

 “Pendekatan Prestatif Akademis Duniawi Dan Ukhrawi”
Oleh: Sufrin Efendi, SPdI[1]
Secara umum, manusia sejatinya memiliki tujuan akhir dari sebuah proses, meskipun hasil tak selamanya mengindikasikan hakikat proses tersebut. Akan tetapi, proses yang maksimal menjadi awal terciptanya kesuksesan. Juga boleh dibilang bahwa dasar dari sebuah kesuksesan terpancar pada komponen kepercayaan, cara pandangan hidup, kedewasaan penyikapan, dan penumbuhan antusiasme untuk penggapain suatu target.
Seorang Muslim yang mempercayai adanya kehidupan setelah kehidupan dunia akan bersikap sesuai dengan keyakinannya. Segala aktivitas penuh dengan pertimbangan, karena dalam agamanya menganjurkan untuk berpikir sebelum bertindak. Juga segala gerak-gerik kehidupannya tarlihat dari kanvas raksasa kehidupan. Perbuatan sekecil apapun mempunyai nilai positif-negatif sesuai dengan kadar penentuannya. Oleh karenanya, komponen kepercayaan dan cara pendefinisian arti sebuah kehidupan menjadi barometer penentuan kesuksesan. 
Dalam skala bermasyarakat misalnya dan dunia international pada umumnya berotasi, sesuai dengan ritme kepekaan dalam mengkonsumsi alam sekitar. Kejenuhan tak dapat dihindari dari sebuah perjalanan panjang, lelah dan ingin berpindah dari represi menuju reformasi  yang menghendaki suatu upaya untuk merobohkan suatu tabiat, bangkit dari sistem lama dan memadukannya dengan gagasan baru. Karena perubahan ibaratleave one place and go to enter another” yang senantiasa berkaitan dengan -dialektika, logika, romantika, dan pembangunan- penuh dengan eksperimen yang keakuratannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi . Teori ini terealisasikan pada awal mula munculnya Islam di Tanah Arab bahkan masih berkesinambungan hingga sekarang.
Munculnya ajaran Islam di Dunia Arab boleh dianalogikan sebagai solusi dari diskulpasi orang Arab ketika itu. Dan kebiasaan mereka membudaya hingga menjadi factor pemicu lahirnya diskriminatif antar pelbagai kultur dan jenis, juga meramba pada dikotomi warna kulit, kesukuan, perbedaan gender dan lain sebagainya.
Kriminalitas orang Arab pun merajalela, sehingga penamaan yang lumayan fenomenal hingga sekarang menjadi saksi bisu atas sifat disobesiensi mereka yakni “zaman jahiliyah”, karena ketidak patuhan mereka terhadap kemaslahatan bersama dan mengedepankan kepentingan pribadi, bahkan mengabaikan peraturan-paraturan Ilahi yang kian membias dan menipis. Tak dapat dipungkiri bila semua ini menjadi factor kejenuhan mereka untuk menuju kondisi yang lebih baik, dan karena tabiat dan bawaan manusia pada dasarnya lurus dan mulus sesuai dengan fitrah dan pewarnaan sekelilingnya.
Dalam diskursus mengenai perubahan, banyak sekali terminologi atau pengistilahan yang mempunyai makna dan arti yang mirip. Namun, seperti layaknya saudara kembar, sekecil apapun pasti akan terdapat perbedaan. Transformasi, pembangunan, perkembangan, modernisasi, industrialisasi, reformasi, dan kesemua istilah ini adalah hampir sama, yang pada dasarnya menitik beratkan pada adanya perubahan.
Reformasi pada dasarnya juga merupakan perubahan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh  Gerald E Caiden bahwa reformasi adalah “the artificial inducement of administrative transformation against resistance.” Yakni merupakan perubahan terencana atau perubahan yang dipersiapkan secara sengaja atau diinginkan.
Perubahan ini dapat terjadi pada/bentuk apa saja. Mulai dari komponen terkecil hingga pada skala bernegara sekalipun. Seorang diri bisa saja merubah dirinya sendiri dan bahkan berdampak pada tatanan masyarakat atau dunia dan seisinya. Meskipun tak selamanya perubahan menyisakan hasil positif, namun setidaknya perubahan akan membawa gagasan cemerlang menuju kemajuan.
Kalaulah perubahan menjadi suatu keniscayaan dan mesti ada pada tiap generasi. Karena tanpa perubahan umat manusia bagai jalan di tempat, tanpa ada kemajuan atau bahkan tertinggal dari perkembangan yang sudah begitu pesat. Dengan perubahan, kelayakan atau tidaknya suatu sistem akan terjawab, juga akan menghasilkan gagasan yang penuh dengan eksperimen demi perbaikan dan pembaharuan. Oleh karenanya, reformasi total dalam suatu tatanan kehidupan terkadang memang perlu diterapkan. Dengan demikian, pembaharuan itu harus ada dan menjadi beban kita bersama. Kepalan semangat dan tekat yang bulat kita menjadi stimulus dalam pengwujudannya. Karena perubahan itu adalah kepastian, dan kalau bukan kita siapa lagi. Senada dengan ini, Nabi saw pernah bersabda:
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها  (الحديث)
 “Sesungguhnya Allah Swt. akan mengutus pembaharu umat dan agama pada setiap satu abad.”
Bila dimaknai secara tersurat, hadits di atas menjelaskan kepada kita bahwa setiap generasi ada pelitanya. Dan setiap masa ada pemandunya. Di kegelapan akan didapati cahaya penerangnya, dan pada setiap kesunyian akan didapati keramaian. Akan tetapi, bila dimaknai dengan pendekatan analisa siratan kalimat dan kandungan pesan, ternyata ada pesan berharga yang semestinya dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi setiap umat yakni “kenapa datang pembaharu dan apa sebab kedatangannya? juga kenapa pembaharu harus ada?”
Pertanyaan demi pertanyaan akan lebih banyak timbul setelah kita menggunakan analisa terhadap kandungan hadits tersebut. Akan tetapi, semua ini mengindikasikan bahwa adanya keterkaitan antara pengutusan pembaharu dan kondisi manusia sebagai obyek utama pada misi ini. Pengutusan para nabi terdahulu adalah sebagai contoh kecil, setelah masa satu nabi berakhir maka akan disusul dengan nabi lainnya. Bilamana ajaran pertama telah luluh dan musnah, maka Allah akan mengutus ajaran pembaharu dan pengganti dari ajaran yang telah dimusnahkan tersebut. Sebagaimana Allah Swt. mengutus Nabi Musa dan Harun, Isa hingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Sejarah telah mencatat segala goresan yang ada di muka bumi ini, tanpa memandang corak atau warna goresan tersebut. Di dalam cakrawala keagamaan misalnya, peralihan masa menuju masa selalu dipandu seorang pemimpin atau khalifah. Hal yang demikian terlihat dari masa kepemimpinan Rasulullah Saw. hingga beliau wafat dan kemudian disusul oleh masa Khulafa’ur Rasyidin. Dan masa Khulafa’ur Rasyidin ini pun diwariskan kepada Umayyah dan setelahnya oleh ‘Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah, hampir didominasi oleh disobesiensi. Kaum Muslim ketika itu semakin menjauh dari hakikat ajaran dan tuntunan Islam. Estafet kepemimpinan ini malang melintang pada poros kemerosotan, bahkan melahirkan regenerasi yang jauh dari tanggungjawab kepemimpinan. Hajjaj bin Yusuf misalnya, seorang tokoh di masa Umayyah terkenal dengan kebrutalannya, bahkan menghakimi dan membunuh para ulama ketika itu hingga masa itupun mencapai perbaikan dan kejayaannya ketika amanah kekhalifahan diemban oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Terbukti sudah apa yang telah Rasulullah Saw. janjikan pada umatnya bahwa di setiap masa itu ada pembaharu dan pelita penerang di kegelapannya yakni munculnya Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz di masa Umayyah dan Harun Ar-Rasyid di masa ‘Abbasiyah, dan inipun akan terus berlangsung hingga Allah Swt. menentukan ketetapan dan kekuasan-Nya terhadap semua cipataan-Nya di muka bumi ini.
Dengan demikian, kita telah melihat realitas dari masa ke masa yang silih berganti. Mulai dari masa Rasulullah Saw. hingga ke masa kita sekarang. Begitu banyaknya perubahan hampir di semua lini kehidupan; lebih tepatnya bila disebut sebagai penurunan kualitas dan energitas kaum Muslim, khususnya terhadap respon keberagamaan dan keIslaman. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa perubahan itu adalah merupakan keniscayaan dan mesti dilakukan demi terciptanya pembaharuan yang berorientasikan pada kemaslahatan bersama. Dan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, secara sendirinya akan menuntut untuk berubah dari satu fase menuju fase lainnya.
Perubahan atau pembaharuan ini tidak hanya pada ruang lingkup keimanan dan keIslaman semata. Juga ternyata melanda kaum non Muslim di belahan Eropa sana, semenjak beberapa abad yang silam. Masihkah kita ingat reformasi besar-besaran para kaum Kristen Gereja di Eropa pada antara abad empat belas-abad enam belas. Kenapa transformasi ini melanda kamu yang tidak memiliki loyalitas agama samawi seperti layaknya orang Muslim. Apa sebenarnya faktor pemicu munculnya reformasi besar-besaran ini.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi besar-besaran setelah sekian tahun dibelenggu oleh sistem yang memperbudak sebagian orang. Berapa banyak tenaga ahli kita dalam pelbagai bidang dimanfaatkan (disewa) oleh barat dan dimanfaatkan dunia lain hanya menerima 0,01 persen dari upah yang diberikan, dan sisanya dimanfaatkan oleh para pejabat pemerintah kita. Kontrak kerja bulanan pun mencapai sekitar $400 dollar Amerika perorang ketika itu. Namun upah yang diberikan langsung pada pekerja tak lebih dari tiga sampai empat ratus ribu rupiah perbulan. Betapa bejatnya sebagian pejabat negara kita dahulu, memperkaya diri di atas jerih payah dan cucuran keringat orang lain.
Bila kita membuka lembaran sejarah, reformasi tuntutan perubahan di Indonesia tentulah akan berbeda dengan "Pemberontakan Maroko". Hal ini benar sekali, sebab Indonesia memiliki tenaga produksi yang lebih tinggi (industri, pertanian, pengangkutan dan keuangan yang besar kuat, ketika itu) daripada negeri tani kecil dan gembala domba seperti Maroko. Juga Indonesia, terutama Jawa, tidak berpegunungan yang dapat disinggahi dan hutan belantara luas menjadi tempat kaum reformasioner menyembunyikan diri bertahun-tahun untuk kemudian setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.
Reformasi Indonesia juga tak akan serupa dengan reformasi proletar sejati seperti di Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar terdiri dari kaum buruh) karena kapitalisme Indonesia masih terlalu muda, belum subur dan masih lemah. Oleh karena itu, kaum buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di negeri Barat, jauh ketinggalan, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Reformasi kita Juga tidak akan menyamai Reformasi Prancis tahun 1870 karena Indonesia ketika itu agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, didorong lagi ikatan sosial dan semat bersatu sangat besar. Dan akan jauh berbeda juga dengan reformasi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda.
Akan berlainan pula dengan Reformasi Rusia yang feodal. Karena boleh dikatakan borjuasinya masih sangar lemah dan muda disebabkan oleh perang yang berlansung selama bertahun-tahun berlangsung, sedangkan kaum buruhnya mudah gembira dan senang, mereka juga dididik menurut aturan Lenin (komunitas yang mengajarkan politik komunisme).
Juga sejauh pengamatan penulis, Reformasi Indonesia tidak seperti reformasi yang terjadi di beberapa Negara Arab saat ini. Mesir misalnya yang baru beberapa bulan menembuskan cita-cita lamanya untuk menumbangkan rezim pemerintahan Husni Mubarak yang sudah puluhan tahun. Perjuangan mereka tak lebih dari sebatas perebutan kekuasaan politik saja atau kekuasaan parlemen, karena mengingat kapitalis nasional Mesir yang sangat amat kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak daripada di Indonesia.
Boleh disimpulkan bahwa Reformasi atau perubahan yang terjadi di Indonesia sebagian kecil adalah bertujuan untuk menentang sisa-sisa feodalisme yang sudah mengakar pada batang tubuh pemerintahan kita saat itu dan sebagian besar lainnya terfoksu pada penentangan imperialisme Barat yang kejam dan biadab. Meskipun demikian, tidak dinafikan adanya kesamaan tujuan antara semua reformasi yang terjadi di belahan dunia.
Contoh kecil dapat juga kita temui sebagaimana yang akhir-kahir ini terjadi di Amerika. aksi anti-Wall Street dan demonstran yang sudah hampir sebulan berjalan di kota Now York dan kota-kota lain di Amerika Serikat mengaku muak dengan pemerintah di Washington. Mereka menuding politisi dari dua partai besar, Demokrat dan Republik, lebih melindungi perusahaan dengan mengorbankan kelas menengah.(bersambung)


[1]. Koordinator Divisi Kaderisasi Asy – Syathibi Center, Cairo

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More